Pada tahun 2010, saya mengikuti sebuah kegiatan yang tidak hanya menyenangkan tapi juga membuka wawasan tentang dunia kesehatan masyarakat. Kegiatan itu adalah Simulasi Kejadian Luar Biasa (KLB) yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada. Tanpa harus turun langsung ke lapangan, seluruh proses simulasi dilakukan di dalam kelas, namun sensasinya terasa seperti sedang berada di tengah wabah sungguhan.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan bagaimana penyelidikan epidemiologi dilakukan saat terjadi wabah. Alih-alih duduk diam mendengarkan ceramah, kami justru diajak terlibat aktif dalam simulasi yang dirancang sangat realistis. Setiap peserta diberikan peran tertentu, mulai dari petugas surveilans, analis data, tim komunikasi, hingga yang membuat suasana makin seru ada yang berperan sebagai pasien.
Peran Beragam, Pengalaman Semakin Nyata
Pembagian peran dalam simulasi ini menjadi kunci utama keseruannya. Saya sendiri tidak berperan sebagai pasien, namun menyaksikan langsung bagaimana teman-teman yang mengambil peran itu mampu “menghidupkan” cerita. Mereka diminta untuk berpura-pura sakit, menyampaikan gejala, memberikan riwayat perjalanan, bahkan ada yang diminta untuk “berbohong” sedikit agar tim kesehatan bisa tertantang mencari jawaban yang benar.
Sementara itu, peserta lain yang bertugas sebagai petugas lapangan harus menggali informasi dari para pasien ini, menganalisis kemungkinan sumber penularan, dan menyusun langkah penanggulangan. Interaksi yang terjadi antara “pasien” dan “petugas” begitu dinamis dan kadang lucu, tapi justru itulah yang membuat proses belajarnya terasa hidup dan mudah dimengerti.
Meski dilakukan di kelas, simulasi ini membawa kami seolah-olah berada dalam krisis nyata. Suasana tegang muncul saat data mulai mengarah ke kemungkinan wabah yang lebih besar. Kami berdiskusi, menyusun grafik, memetakan penyebaran, dan pada akhirnya harus membuat keputusan cepat tentang apa yang harus dilakukan. Semua terjadi dalam waktu terbatas, menambah kesan bahwa ini bukan sekadar permainan, tapi latihan serius yang mendekati kondisi nyata.
Bukan Sekadar Ilmu, Tapi Pemahaman
Dari kegiatan ini, saya belajar bahwa epidemiologi bukan hanya soal angka dan grafik, tapi juga tentang bagaimana kita berkomunikasi, berkoordinasi, dan mengambil keputusan yang berdampak pada masyarakat luas. Simulasi ini juga memperlihatkan bahwa dalam penyelidikan wabah, informasi dari pasien adalah sumber utama yang tidak bisa dianggap remeh. Cara petugas menanyakan, mendengarkan, dan mencatat bisa sangat menentukan arah analisis selanjutnya.
Lebih dari itu, saya juga menyadari pentingnya empati dan komunikasi yang efektif dalam krisis kesehatan. Peran pasien dalam simulasi ini bukan hanya tempelan, tapi bagian vital yang mengajarkan kami bahwa di balik setiap kasus, ada individu dengan cerita, ketakutan, dan harapan.
Pengalaman yang Layak Diulang
Kini, lebih dari satu dekade sejak kegiatan itu berlangsung, saya masih mengingat betapa menyenangkannya cara belajar yang ditawarkan oleh Simulasi KLB. Bukan hanya karena materinya menarik, tapi juga karena pendekatannya yang interaktif dan membumi. Kami tidak belajar dari buku saja, tapi dari pengalaman langsung, meski hanya disimulasikan.
Simulasi semacam ini, menurut saya, layak diadakan lebih sering, bahkan untuk publik yang lebih luas. Tidak hanya mahasiswa kesehatan, tapi juga bagi masyarakat umum yang ingin memahami bagaimana sebuah wabah bisa terjadi dan bagaimana kita bisa ikut berperan dalam menghadapinya. Belajar epidemiologi tidak harus membosankan. Dengan skenario yang tepat dan partisipasi aktif, ilmu ini bisa terasa sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.