Pernahkah Anda merasa lebih lelah tinggal di kota daripada di desa, meskipun fasilitas di kota lebih lengkap? Mungkin tanpa sadar, lingkungan tempat kita tinggal sedang ikut menentukan kesehatan tubuh dan pikiran kita. Polusi udara, jalanan yang macet, kurangnya ruang terbuka hijau, atau bahkan suara bising tiap malam, semua itu bukan cuma soal kenyamanan, tapi juga soal kesehatan. Inilah titik awal munculnya gagasan bahwa kota seharusnya tidak hanya layak huni, tetapi juga menyehatkan. Dan kini, pendekatan baru mulai banyak dibicarakan yaitu perencanaan kota berbasis data epidemiologi atau istilah kerennya, urban health planning.
Ketika Angka Bisa Menentukan Arah Kota
Selama ini, data epidemiologi dikenal dalam dunia medis untuk melacak penyebaran penyakit. Tapi siapa sangka, data ini juga bisa jadi panduan dalam merancang jalan, taman, bahkan sistem transportasi. Coba bayangkan, sebelum membangun kawasan perumahan baru, pemerintah bisa melihat data bahwa di lokasi itu sering terjadi kasus demam berdarah atau bahwa penduduk sekitarnya kesulitan akses ke fasilitas olahraga. Nah, dengan informasi seperti itu, kota bisa dirancang untuk langsung mencegah masalah, bukan sekadar menanggulanginya. Misalnya, di kawasan padat penduduk dengan angka obesitas tinggi, pemerintah bisa merancang jalur sepeda, trotoar yang ramah pejalan kaki, atau taman bermain untuk mendorong aktivitas fisik. Atau di daerah rawan banjir yang sering jadi sarang nyamuk, bisa dibangun sistem drainase yang lebih baik dan ruang terbuka yang bisa menyerap air.
Kota yang Menyembuhkan, Bukan Menyakiti
Banyak orang mengira bahwa kota yang sehat cukup diukur dari jumlah rumah sakit atau puskesmas. Padahal, itu baru langkah terakhir. Kota yang sehat adalah kota yang sejak awal meminimalkan risiko penyakit. Data kesehatan masyarakat bisa memberi petunjuk: di mana warga kesulitan akses air bersih? Di mana angka penyakit jantung tinggi? Di mana saja anak-anak kurang gizi? Informasi seperti ini jika dikombinasikan dengan peta kota bisa menciptakan rencana pembangunan yang lebih adil dan menyeluruh.
Bayangkan jika setiap kebijakan pembangunan, entah itu pembangunan jalan tol, mall, atau kawasan bisnis, harus lebih dulu melewati “cek kesehatan”. Apakah proyek itu akan memperbaiki kualitas udara? Apakah akan membuat warga lebih mudah berjalan kaki atau justru memperparah kemacetan? Ini bukan mimpi, ini bisa terjadi jika kita mulai serius menata kota dengan pendekatan yang manusiawi dan berbasis data.
Belajar dari Dunia: 5 Kota yang Menjadikan Data sebagai Pondasi Kesehatan
Membayangkan kota yang sehat memang terdengar ideal. Tapi ini bukan angan-angan. Di beberapa belahan dunia, kota-kota sudah lebih dulu menunjukkan bahwa dengan niat dan data yang tepat, kota bisa menjadi alat penyembuh yang nyata. Berikut lima contohnya:
1. Kopenhagen, Denmark – Kota Pesepeda yang Melawan Penyakit Jantung
Kopenhagen tak tiba-tiba menjadi surga bagi pesepeda. Pemerintah kota melihat bahwa gaya hidup sedentari menjadi penyebab meningkatnya penyakit jantung dan diabetes tipe 2. Berdasarkan data epidemiologi dan kebiasaan warga, mereka lalu merancang sistem jalur sepeda yang aman, luas, dan terhubung ke seluruh kota. Hasilnya? Lebih dari 60% penduduk kini bersepeda ke tempat kerja atau sekolah, dan angka penyakit jantung mengalami penurunan signifikan. Kota ini menjadi bukti bahwa infrastruktur bisa menjadi ‘obat’ harian.
2. Medellín, Kolombia – Transportasi untuk Menurunkan Stres Sosial
Dulu dikenal sebagai kota paling berbahaya di dunia, Medellín mulai berubah setelah pemerintah menganalisis data sosial dan kesehatan masyarakat. Mereka menemukan bahwa warga di daerah miskin di lereng bukit menderita stres berat, gangguan mental, dan akses yang buruk ke fasilitas kesehatan. Dengan pendekatan data spasial dan epidemiologi, pemerintah membangun sistem transportasi kabel (Metrocable) yang menghubungkan permukiman miskin dengan pusat kota. Efeknya bukan hanya mobilitas, tapi juga penurunan tingkat stres, kekerasan, dan isolasi sosial. Di sini, data digunakan untuk menyembuhkan luka kota.
3. Seoul, Korea Selatan – Mengubah Jalan Raya Jadi Sungai yang Menyembuhkan
Di awal 2000-an, Seoul memutuskan untuk membongkar jalan layang yang melintasi Sungai Cheonggyecheon, berdasarkan analisis polusi udara dan peningkatan gangguan pernapasan di kawasan padat lalu lintas. Alih-alih memperluas jalan, mereka merestorasi sungai tersebut menjadi ruang publik yang hijau dan ramah pejalan kaki. Hasilnya? Kualitas udara meningkat, suhu kota menurun, dan warga punya ruang terbuka yang terbukti menurunkan tingkat stres dan tekanan darah.
4. Melbourne, Australia – “20-Minute City” Demi Kesehatan Mental
Melbourne mengembangkan konsep kota 20 menit, di mana setiap warga harus bisa mengakses taman, pusat belanja, sekolah, dan fasilitas kesehatan dalam jarak 20 menit berjalan kaki atau bersepeda. Kebijakan ini tidak muncul tiba-tiba. Data epidemiologi menunjukkan bahwa keterisolasian dan kurangnya akses fasilitas dasar berdampak langsung pada kesehatan mental dan meningkatnya angka depresi. Dengan mengatur ulang zonasi berdasarkan kebutuhan dasar dan distribusi kesehatan, kota ini berhasil menekan angka masalah psikologis dan meningkatkan kualitas hidup.
5. Amsterdam, Belanda – Menata Pola Makan Lewat Desain Lingkungan
Amsterdam punya masalah klasik yaitu obesitas anak. Setelah mempelajari data gizi anak dan lingkungan tempat tinggal, pemerintah kota menyadari bahwa banyak anak tinggal di daerah dengan minim akses ke makanan sehat dan terlalu dekat dengan gerai makanan cepat saji. Sebagai respons, Amsterdam merancang ulang kawasan sekolah dengan membatasi iklan junk food, memperbanyak kebun komunitas, dan mendorong kegiatan fisik di ruang publik. Hasilnya, dalam lima tahun, angka obesitas anak menurun drastis. Di sini, data epidemiologi menjadi dasar perubahan desain kota hingga ke tingkat mikro.
Menutup Cerita, Membuka Harapan
Kelima kota ini berbeda secara geografis, budaya, dan sejarah. Namun, mereka punya benang merah yang sama: mereka mendengar suara data, dan menjadikannya dasar untuk membangun kota yang lebih sehat dan manusiawi. Mereka tidak menunggu krisis datang untuk bertindak. Mereka bergerak ketika data mulai bicara. Dan mungkin, ini yang perlu kita tiru, bahwa kesehatan warga bisa dan harus menjadi pertimbangan utama dalam desain kota.
Membangun kota sehat bukan sekadar mimpi futuristik. Dengan pendekatan berbasis data, setiap keputusan tata ruang bisa jadi investasi jangka panjang untuk kesehatan. Kota yang baik bukan hanya yang cepat tumbuh, tapi yang bisa membuat warganya hidup lebih panjang dan bahagia.
Pada akhirnya, kota bukan hanya tempat tinggal, ia bisa jadi alat penyembuh, atau sebaliknya. Pilihannya ada pada kita semua.