Kadang, ada perjalanan yang tidak hanya tercatat dalam galeri foto atau coretan jurnal harian, tapi menetap begitu dalam di ingatan, menempel di sela-sela hati, dan tetap hangat dikenang meski waktu telah jauh berlalu. Bagi saya, perjalanan ke Gunung Bromo pada September 2015 adalah salah satunya. Sudah sepuluh tahun berlalu sejak malam itu, namun setiap detiknya masih saya simpan dengan utuh.
Waktu itu, kami berangkat dari Pare, Kota Kediri, pada tengah malam menjelang dini hari. Jalanan masih lengang, hanya ada kami dan deru mesin minibus yang menderu pelan menembus dinginnya malam. Di dalam kendaraan, sebagian mencoba tidur, sebagian lagi, termasuk saya, malah terjaga karena campuran antusiasme dan rasa penasaran yang sulit diredam. Saya belum pernah ke Bromo sebelumnya, dan bayangan akan hamparan pasir, kawah aktif, serta sunrise yang melegenda membuat mata ini enggan terpejam.
Sekitar beberapa jam kemudian, minibus kami tiba di lereng Bromo, tempat para wisatawan transit sebelum melanjutkan perjalanan dengan kendaraan khusus. Kami berganti ke mobil jeep—atau lebih tepatnya, hardtop tangguh yang siap menaklukkan jalanan terjal. Udara sudah terasa menggigit, tetapi kami belum benar-benar siap dengan apa yang akan menanti di atas sana.
Perjalanan mendaki dengan jeep terasa seperti sebuah petualangan sendiri. Gelap masih menyelimuti, kabut menggulung perlahan, dan hanya sorot lampu kendaraan yang memecah kesunyian pagi. Tak lama kemudian, kami sampai di Penanjakan, spot legendaris untuk menyambut matahari. Saat itu, waktu subuh belum tiba. Kami turun dari jeep dan langsung disambut oleh hembusan angin yang membuat jaket tebal sekalipun terasa sia-sia. Dingin ini bukan lagi dingin yang biasa saya kenal—ini menusuk hingga ke sumsum tulang, membuat wajah terasa kaku, dan tangan seakan kehilangan kepekaan.
Dalam kondisi menggigil, saya dan beberapa orang dari rombongan memilih untuk menunaikan salat subuh di tempat terbuka. Tidak ada masjid, hanya tanah lapang dan alas seadanya. Tapi entah kenapa, shalat di bawah langit yang masih pekat, dengan deru angin sebagai latar suara, justru terasa khusyuk dan penuh rasa syukur.
Sambil menunggu matahari muncul, saya memberanikan diri berbincang dengan sepasang turis dari Belanda yang juga tampak sibuk menggigil. Dengan bahasa Inggris terbata-bata, saya bertanya apakah mereka terbiasa dengan cuaca seperti ini. Mereka tertawa kecil dan menjawab, “Masih biasa saja, ini seperti akhir musim dingin di negara kami.” Saya hanya tersenyum dan diam-diam berpikir, kalau ini saja sudah membuat saya menggigil setengah mati, bagaimana rasanya hidup di musim salju yang sesungguhnya?
Dan kemudian, datanglah momen itu. Cahaya pertama dari balik cakrawala mulai menyelinap, menyingkapkan siluet pegunungan yang sebelumnya tersembunyi dalam gelap. Langit perlahan berubah warna, dari biru gelap menjadi oranye keemasan. Sinar matahari pecah di balik gunung, memancar seperti ledakan cahaya yang disebut orang-orang sebagai sunburst. Rasanya seperti menyaksikan lukisan hidup yang digores langsung oleh tangan alam. Tidak ada kata-kata yang benar-benar mampu menggambarkan keindahan itu. Hanya diam, takjub, dan sesekali menahan napas agar momen ini terasa lebih panjang.

Setelah puas menikmati keajaiban pagi, kami kembali naik jeep dan meluncur turun menuju lautan pasir Bromo. Hamparan pasir yang luas dan lengang seperti lanskap di dunia lain. Kami sempat berhenti di sebuah bukit hijau yang dikenal dengan nama Bukit Teletubbies. Kontrasnya dengan lautan pasir di sekeliling membuat tempat ini terasa begitu segar dan memesona. Di tengah perjalanan, kami juga melihat area yang dipagari dan diberi tanda larangan—tempat yang dikhususkan untuk ritual adat masyarakat Tengger, yang tetap dijaga kesakralannya hingga kini. Kami hanya melihat dari kejauhan, dengan penuh rasa hormat.
Tujuan utama kami berikutnya adalah kawah Bromo itu sendiri. Jeep berhenti di area parkir, dan dari sana kami harus melanjutkan dengan berjalan kaki. Bagi yang tidak kuat, tersedia kuda sewaan. Tapi saya memilih berjalan. Saya ingin merasakan betul bagaimana rasanya menapaki anak tangga menuju bibir kawah legendaris itu. Awalnya semangat saya membuncah. Tapi begitu mulai menapaki tangga demi tangga, nafas mulai ngos-ngosan. Entah berapa kali saya berhenti, memegangi lutut, atau pura-pura melihat ke belakang hanya untuk mencari alasan beristirahat. Ternyata semangat saja tidak cukup, fisik juga harus ikut kuat.

Namun semua rasa lelah itu sirna ketika akhirnya saya sampai di atas. Kawah besar yang mengepulkan asap tipis, dikelilingi oleh jurang yang dalam dan angin yang bertiup kencang, memberikan perasaan magis yang sulit dijelaskan. Saya berdiri di sana, diam cukup lama, mencoba menyerap semua pemandangan dan suasana. Di titik itu, saya merasa kecil, tapi juga bersyukur bisa menjadi saksi keindahan luar biasa ini.

Dalam perjalanan turun, yang tentu lebih mudah dan cepat, kami sempat singgah di Gunung Batok—gunung berbentuk kerucut sempurna yang menjulang gagah di dekat kawah Bromo. Di sana kami berfoto dan menikmati pemandangan untuk terakhir kalinya sebelum kembali ke jeep dan bersiap pulang.
Perjalanan kembali ke Pare terasa lebih tenang. Badan lelah, tapi hati hangat. Ada kepuasan batin yang sulit dijelaskan, ada kenangan yang menempel erat hingga sekarang. Mungkin karena itu, meski sudah sepuluh tahun berlalu, perjalanan ke Bromo ini tetap menjadi salah satu potongan hidup yang paling berkesan. Sebuah perjalanan yang bukan hanya soal tempat, tapi juga tentang rasa, tentang momen, dan tentang saya yang dulu, menantang dingin demi menjemput cahaya.