Pagi itu, Bukittinggi masih terasa sejuk ketika saya dan keluarga bersiap untuk menjajal salah satu destinasi yang belakangan ini banyak dibicarakan yaitu Sajuta Janjang. Kami menginap di Hotel Royal Denai View, lokasinya nyaman, cukup dekat dari mana-mana, dan dari balkon kamar saya bisa melihat garis bukit-bukit hijau yang menjadi ciri khas kota ini. Ditemani istri dan 2 anak laki-laki saya yang sudah beranjak remaja, kami berangkat naik mobil. Rencananya sederhana saja: menjelajah, menghirup udara segar, dan menikmati momen kecil yang, entah kenapa, sekarang terasa makin mahal nilainya.
Perjalanan menuju lokasi tidak bisa dibilang biasa. Jalan yang kami lalui sebagian besar menanjak karena lokasi Sajuta Janjang memang berada di lereng Gunung Singgalang. Selain itu jalan yang sempit kadang hanya cukup untuk satu mobil, jadi ketika ada kendaraan dari arah berlawanan, salah satu harus mengalah. Saya beberapa kali harus mundur pelan-pelan sambil menahan napas, memastikan ban mobil tidak selip di tepian. Di beberapa titik, kami terpaksa berhenti sejenak, bukan karena lelah, tapi karena butuh negosiasi jalan dengan pengendara lain. Lucunya, justru di situ letak serunya. Ada rasa waspada, tapi juga geli sendiri karena situasinya mengingatkan saya pada game labirin yang dimainkan di masa kecil, hanya saja kali ini versi nyata dan dengan istri di sebelah yang tak henti-hentinya memberi arahan.
Sesampainya di area parkir, langit mulai berubah. Hujan gerimis turun perlahan. Bukan deras, tapi cukup untuk membuat jaket kami basah di bagian bahu. Saya sempat berpikir untuk menunda dan kembali lain waktu, tapi anak saya langsung turun dengan langkah yakin, seolah mengatakan, “Ayo, kita sudah sampai sejauh ini.” Istri saya pun tersenyum kecil, dan akhirnya kami berempat mulai menapaki anak-anak tangga itu satu per satu.
Sajuta Janjang dalam bahasa Minang berarti sejuta anak tangga, memang tidak benar-benar sejuta, tapi saat mulai menaikinya, saya mulai paham mengapa orang menyebutnya begitu. Tangga-tangga ini membentang panjang, mengikuti kontur bukit, melewati pemukiman warga, kebun kecil, dan dinding-dinding ibarat miniatur Tembok Besar Cina. Gerimis membuat batu-batunya sedikit licin, jadi langkah kami pelan, hati-hati. Tapi di balik itu semua, suasananya luar biasa menenangkan.
Di sepanjang perjalanan, kami beberapa kali berhenti. Bukan hanya untuk mengatur napas, tapi juga untuk menikmati suasana sekitar. Dari puncak anak tangga kami melihat ada rumah-rumah tua beratap gonjong yang khas, area perkebunan warga yang ditanami berbagai tanaman sayuran, dan suara ayam kampung dari kejauhan. Saya sempat berpikir, kehidupan di sini terlihat begitu sederhana, tapi justru di situlah letak kehangatannya.
Anak saya yang biasanya sibuk dengan gadget, meski langkahnya tertatih namun mereka tampak menikmati setiap langkahnya. Ia memotret, tertawa, dan beberapa kali iseng menghitung jumlah tangga yang sudah kami lalui. Saya tidak tahu berapa pastinya, tapi yang jelas cukup untuk membuat otot betis terasa tertarik. Tapi rasa lelah itu seolah terbayar saat kami sampai di salah satu titik tertinggi dan melihat pemandangan Bukittinggi dari atas. Rumah-rumah kecil tersebar di lembah, kabut tipis menggantung di antara pepohonan, dan Gunung Marapi terlihat seperti lukisan alam yang diam tapi hidup. Angin dingin bertiup pelan membawa sisa gerimis, dan kami berempat berdiri di sana, terdiam sejenak, menikmati pemandangan yang sederhana tapi luar biasa indah.
Kami duduk sebentar di bangku beton, mengeluarkan botol air dan beberapa camilan ringan dari tas. Istri saya mulai bercerita tentang masa kuliahnya dulu yang sempat mendaki hingga puncak Gunung Singgalang, anak saya bertanya soal nama-nama gunung di kejauhan, dan saya hanya duduk, mendengarkan, sesekali tersenyum. Di usia saya sekarang, momen-momen seperti ini terasa seperti hadiah. Tidak selalu harus megah atau mahal, cukup seperti hari ini, bersama orang yang saya sayangi, di tempat yang membuat saya merasa kembali “ada”.
Sebenarnya perjalanan menuju akhir Sajuta Janjang masih jauh, namun kami memutuskan untuk kembali ke titik awal karena selain hujan semakin agak deras, juga medannya semakin menanjak. Perjalanan turun tentu lebih mudah, meski harus tetap waspada karena licin. Ketika sampai di titik awal, kami bertemu ibu-ibu yang menjual gorengan hangat. Kami berhenti, membeli beberapa gorengan dan kue yang ada, lalu duduk di bangku yang ada tak jauh dari posisi kami. Sembari duduk, kami santap gorengan dan kue itu dengan lahapnya. Rasanya nikmat sekali, entah karena lapar atau karena cuaca dingin membuat semua terasa lebih lezat.
Sampai kembali di mobil, gerimis sudah reda, tapi tanah masih basah dan udara terasa lembap. Kami berempat masuk ke dalam mobil dengan baju sedikit basah, sepatu bertanah, tapi hati luar biasa hangat. Saya menyalakan mesin, memutar lagu lama tembang kenangan, dan kami pun kembali ke hotel dengan perasaan puas. Bukan karena telah menaklukkan tangga panjang, tapi karena hari itu kami benar-benar hadir, bersama, dan menikmati setiap detiknya.
Sajuta Janjang bukan hanya tentang berapa banyak anak tangga yang bisa dinaiki. Ia adalah tentang langkah-langkah kecil yang diambil bersama orang terdekat, tentang obrolan ringan di tengah gerimis, dan tentang napas yang terengah tapi penuh rasa syukur. Hari itu, di Bukittinggi yang sejuk, saya kembali diingatkan bahwa perjalanan paling berharga adalah yang kita lakukan perlahan, penuh kesadaran, dan tanpa tergesa-gesa.