Close Menu
Said Mardani

    Berlangganan Newsletter

    Silahkan berlangganan newsletter untuk update informasi terkini.

    Trending Topik

    Idul Adha, Makna Kurban, dan Hikmah Kesehatan yang Menyeluruh

    6 Juni 2025

    Tersandera di Antara Sistem, Cerita Seorang Epidemiolog yang Belum Bisa Jadi “Epidemiolog”

    31 Mei 2025

    Hoaks Kesehatan dan Krisis Kepercayaan, Ancaman Diam di Era Digital

    30 Mei 2025

    Bagaimana Google, WhatsApp, dan Sosial Media Membantu Deteksi Wabah?

    27 Mei 2025

    Tantangan SKDR di Era Digital, Tinjauan Ilmiah dan Prospek Masa Depan

    7 Mei 2025
    Pilihan Editor

    Idul Adha, Makna Kurban, dan Hikmah Kesehatan yang Menyeluruh

    6 Juni 2025

    Tersandera di Antara Sistem, Cerita Seorang Epidemiolog yang Belum Bisa Jadi “Epidemiolog”

    31 Mei 2025

    Hoaks Kesehatan dan Krisis Kepercayaan, Ancaman Diam di Era Digital

    30 Mei 2025

    Bagaimana Google, WhatsApp, dan Sosial Media Membantu Deteksi Wabah?

    27 Mei 2025
    Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
    Said MardaniSaid Mardani
    Facebook X (Twitter) Instagram YouTube WhatsApp
    SUBSCRIBE
    • BERANDA
    • TENTANG SAYA
    • PENTING DIBACA
    • RAGAM ARTIKEL
      • Artikel Kesehatan
      • Epidemiologi dan Penyakit
      • Sejarah Kesehatan
      • Opini
      • Ide & Kreatifitas
      • Catatan Spesial
      • Perjalanan
    • UNDUHAN
    • HUBUNGI SAYA
    Said Mardani
    Beranda»Opini»Hoaks Kesehatan dan Krisis Kepercayaan, Ancaman Diam di Era Digital
    Opini

    Hoaks Kesehatan dan Krisis Kepercayaan, Ancaman Diam di Era Digital

    Said MardaniOleh Said Mardani30 Mei 2025Tidak ada komentar4 Menit Dibaca
    Facebook Twitter WhatsApp Email Telegram Threads
    Bagikan
    Facebook Twitter WhatsApp Email Telegram Threads

    Pandemi COVID-19 mengajarkan kita banyak hal, salah satunya adalah bagaimana hoaks kesehatan dapat menyebar lebih cepat dari virus itu sendiri. Munculnya berbagai teori konspirasi, dari chip dalam vaksin hingga klaim bahwa COVID-19 adalah buatan laboratorium rahasia, menunjukkan betapa rentannya masyarakat terhadap informasi palsu. Fenomena ini disebut infodemi, yaitu limpahan informasi yang berlebihan, termasuk disinformasi yang menyulitkan masyarakat untuk menemukan informasi yang dapat dipercaya saat dibutuhkan.

    Dampaknya terhadap Kepercayaan Publik terhadap Epidemiologi

    Epidemiologi adalah fondasi dalam pengambilan kebijakan kesehatan berbasis bukti. Namun, ketika publik kehilangan kepercayaan pada data, penelitian, dan otoritas kesehatan, maka strategi pencegahan penyakit seperti vaksinasi massal, pelacakan kontak, hingga kebijakan pembatasan sosial akan terganggu. Menurut WHO, distrust terhadap sains adalah salah satu penghambat utama dalam pengendalian pandemi. Saat masyarakat lebih percaya pada informasi dari grup WhatsApp atau selebgram dibanding jurnal ilmiah atau ahli kesehatan, maka kita menghadapi krisis ganda: epidemi penyakit dan epidemi misinformasi.

    Mengapa Hoaks Mudah Diterima oleh Masyarakat?

    Hoaks, terutama di bidang kesehatan, sangat mudah diterima karena menyentuh aspek emosional, sosial, dan psikologis manusia. Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian seperti pandemi atau wabah penyakit, masyarakat cenderung haus akan penjelasan yang cepat, sederhana, dan meyakinkan. Sayangnya, hoaks sering menawarkan “jawaban mudah” yang tampak logis di permukaan, walau tak berdasar pada data atau sains.

    Secara psikologis, hoaks bekerja karena adanya confirmation bias, yaitu kecenderungan manusia untuk lebih percaya pada informasi yang sejalan dengan keyakinan atau ketakutan yang sudah dimiliki. Jika seseorang sudah curiga pada vaksin, maka informasi palsu tentang bahaya vaksin akan lebih mudah diterima dan disebarluaskan, tanpa diverifikasi terlebih dahulu. Selain itu, efek pengulangan juga membuat hoaks terasa benar, semakin sering suatu klaim dibaca atau didengar, semakin familiar, dan akhirnya dianggap valid.

    Secara sosial, hoaks biasanya disebarkan oleh orang-orang yang dipercaya secara emosional, seperti teman, keluarga, atau tokoh yang populer di media sosial. Ini menciptakan ilusi kepercayaan, di mana orang merasa aman mempercayai informasi karena datang dari sumber “dekat”, meskipun sumber tersebut tidak kompeten secara ilmiah.

    Ditambah lagi, algoritma media sosial cenderung memperkuat bias ini dengan menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, bukan kebenaran. Alhasil, banyak orang terjebak dalam “echo chamber” informasi palsu yang terus berulang dan membentuk persepsi yang menyimpang dari realitas ilmiah.

    Dengan kombinasi faktor emosional, bias kognitif, dan struktur distribusi informasi yang permisif, hoaks tumbuh subur dan sering kali lebih menarik daripada fakta ilmiah yang kompleks dan membutuhkan pemahaman kritis.

    Cara Menanggulangi: Bangun Literasi, Bukan Cuma Rebutan Klarifikasi

    Menanggulangi hoaks kesehatan tidak cukup hanya dengan memberikan klarifikasi atau membantah satu per satu informasi palsu yang beredar. Pendekatan seperti itu bersifat reaktif dan tidak menyentuh akar persoalan: kurangnya literasi masyarakat terhadap informasi, khususnya di bidang kesehatan dan sains epidemiologi.

    Yang dibutuhkan adalah pembangunan literasi jangka panjang, yaitu kemampuan masyarakat untuk mengenali, memahami, menilai, dan menggunakan informasi secara kritis. Literasi ini mencakup dua hal utama: literasi digital, agar masyarakat mampu menyaring informasi di media sosial dan internet; serta literasi ilmiah, agar publik memahami dasar-dasar cara kerja sains, termasuk bahwa ilmu pengetahuan bersifat terbuka, berkembang, dan berbasis bukti.

    Pembangunan literasi ini perlu dimulai dari tingkat paling dasar: pendidikan. Kurikulum sekolah bisa memuat pelajaran berpikir kritis dan membaca informasi digital. Di luar sekolah, peran tokoh masyarakat, tenaga kesehatan, jurnalis, dan content creator menjadi penting sebagai komunikator ilmu yang dapat menjembatani bahasa teknis menjadi narasi yang mudah dipahami dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.

    Selain itu, pemerintah dan lembaga kesehatan juga perlu bertransformasi menjadi penyampai informasi yang aktif dan transparan, bukan hanya muncul saat krisis. Informasi yang akurat, konsisten, dan mudah diakses harus disampaikan secara berkelanjutan melalui berbagai kanal yang dipercaya masyarakat.

    Dengan membangun literasi, masyarakat tidak lagi menjadi objek pasif yang mudah terseret arus hoaks, melainkan menjadi subjek yang mampu menyaring, mengevaluasi, dan memilih informasi yang benar. Ini bukan hanya solusi untuk hari ini, tetapi investasi jangka panjang dalam menciptakan ketahanan sosial terhadap disinformasi dan memperkuat fondasi kepercayaan terhadap sains.

    “A lie can travel halfway around the world while the truth is putting on its shoes.”  Mark Twain

    disinformasi kesehatan Epidemiologi hoaks kesehatan infodemi literasi digital sains epidemiologi trust in science vaksin
    Artikel SebelumnyaBagaimana Google, WhatsApp, dan Sosial Media Membantu Deteksi Wabah?
    Artikel Selanjutnya Tersandera di Antara Sistem, Cerita Seorang Epidemiolog yang Belum Bisa Jadi “Epidemiolog”
    Said Mardani
    • Website

    Saya adalah penulis utama blog ini dengan fokus utama pada topik kesehatan sesuai latar belakang pendidikan dan pekerjaan saya, namun sesekali saya juga menulis tentang perjalanan, opini, ide, dan berbagai topik menarik lainnya untuk memberi warna dan variasi pada isi blog ini.

    Artikel Terkait

    Tersandera di Antara Sistem, Cerita Seorang Epidemiolog yang Belum Bisa Jadi “Epidemiolog”

    31 Mei 2025

    Bagaimana Penyakit Menyebar? Penjelasan Sederhana tentang Epidemiologi

    29 Oktober 2024

    Dari Depok ke Panggung Nasional: Perjalanan Tak Terduga di NSCE Makassar

    28 Februari 2024
    Berikan Komentar Batalkan Kirim

    Posting Terkini
    Artikel Kesehatan

    Idul Adha, Makna Kurban, dan Hikmah Kesehatan yang Menyeluruh

    Oleh Said Mardani6 Juni 20250

    Setiap gema takbir yang menggema saat Idul Adha membawa suasana yang berbeda. Ada keheningan yang…

    Tersandera di Antara Sistem, Cerita Seorang Epidemiolog yang Belum Bisa Jadi “Epidemiolog”

    31 Mei 2025

    Hoaks Kesehatan dan Krisis Kepercayaan, Ancaman Diam di Era Digital

    30 Mei 2025

    Bagaimana Google, WhatsApp, dan Sosial Media Membantu Deteksi Wabah?

    27 Mei 2025

    Tantangan SKDR di Era Digital, Tinjauan Ilmiah dan Prospek Masa Depan

    7 Mei 2025

    Kasus Campak di Disneyland, Bukti Bahaya Gerakan Anti-Vaksin

    12 Maret 2025

    Kolaborasi Komunitas, Menjaga Kesehatan Bersama Lewat Surveilans Partisipatif

    10 Februari 2025

    Herd Immunity Melalui Imunisasi, Mitos atau Harapan Realistis?

    7 Februari 2025

    Bagaimana Epidemiologi Membantu Mengakhiri Wabah Polio di Dunia?

    9 Januari 2025

    Imunisasi Sepanjang Usia: Investasi Kesehatan Seumur Hidup

    2 Januari 2025
    Tetap Terhubung
    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
    • YouTube
    • WhatsApp
    • Threads

    Berlangganan Newsletter

    Silahkan berlangganan newsletter untuk update informasi terkini.

    Tentang Saya
    Tentang Saya

    SAID MARDANI
    Lihat Tentang Saya

    Komentar Terkini
    • Ismail pada Mengenal Masa Kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS)
    • Said Firmansyah pada Mengenal Masa Kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS)
    • Eddie pada Mengenal Masa Kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS)
    Trending Topik

    Hoaks Kesehatan dan Krisis Kepercayaan, Ancaman Diam di Era Digital

    COVID-19, Masihkah Antara Ada dan Tiada?

    Dari Depok ke Panggung Nasional: Perjalanan Tak Terduga di NSCE Makassar

    Idul Adha, Makna Kurban, dan Hikmah Kesehatan yang Menyeluruh

    PENTING DIBACA
    • Hubungi Saya
    • Kebijakan Privasi
    • Ketentuan Penggunaan
    • Periklanan
    • Tentang Saya
    Facebook X (Twitter) Instagram YouTube WhatsApp
    © 2025 Said Mardani. Designed by Zarazmedia Creative Agency.

    Ketik kata kunci yang ingin Anda cari dan tekan Enter untuk mencari. Tekan Esc untuk membatalkan.