Pandemi COVID-19 mengajarkan kita banyak hal, salah satunya adalah bagaimana hoaks kesehatan dapat menyebar lebih cepat dari virus itu sendiri. Munculnya berbagai teori konspirasi, dari chip dalam vaksin hingga klaim bahwa COVID-19 adalah buatan laboratorium rahasia, menunjukkan betapa rentannya masyarakat terhadap informasi palsu. Fenomena ini disebut infodemi, yaitu limpahan informasi yang berlebihan, termasuk disinformasi yang menyulitkan masyarakat untuk menemukan informasi yang dapat dipercaya saat dibutuhkan.
Dampaknya terhadap Kepercayaan Publik terhadap Epidemiologi
Epidemiologi adalah fondasi dalam pengambilan kebijakan kesehatan berbasis bukti. Namun, ketika publik kehilangan kepercayaan pada data, penelitian, dan otoritas kesehatan, maka strategi pencegahan penyakit seperti vaksinasi massal, pelacakan kontak, hingga kebijakan pembatasan sosial akan terganggu. Menurut WHO, distrust terhadap sains adalah salah satu penghambat utama dalam pengendalian pandemi. Saat masyarakat lebih percaya pada informasi dari grup WhatsApp atau selebgram dibanding jurnal ilmiah atau ahli kesehatan, maka kita menghadapi krisis ganda: epidemi penyakit dan epidemi misinformasi.
Mengapa Hoaks Mudah Diterima oleh Masyarakat?
Hoaks, terutama di bidang kesehatan, sangat mudah diterima karena menyentuh aspek emosional, sosial, dan psikologis manusia. Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian seperti pandemi atau wabah penyakit, masyarakat cenderung haus akan penjelasan yang cepat, sederhana, dan meyakinkan. Sayangnya, hoaks sering menawarkan “jawaban mudah” yang tampak logis di permukaan, walau tak berdasar pada data atau sains.
Secara psikologis, hoaks bekerja karena adanya confirmation bias, yaitu kecenderungan manusia untuk lebih percaya pada informasi yang sejalan dengan keyakinan atau ketakutan yang sudah dimiliki. Jika seseorang sudah curiga pada vaksin, maka informasi palsu tentang bahaya vaksin akan lebih mudah diterima dan disebarluaskan, tanpa diverifikasi terlebih dahulu. Selain itu, efek pengulangan juga membuat hoaks terasa benar, semakin sering suatu klaim dibaca atau didengar, semakin familiar, dan akhirnya dianggap valid.
Secara sosial, hoaks biasanya disebarkan oleh orang-orang yang dipercaya secara emosional, seperti teman, keluarga, atau tokoh yang populer di media sosial. Ini menciptakan ilusi kepercayaan, di mana orang merasa aman mempercayai informasi karena datang dari sumber “dekat”, meskipun sumber tersebut tidak kompeten secara ilmiah.
Ditambah lagi, algoritma media sosial cenderung memperkuat bias ini dengan menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, bukan kebenaran. Alhasil, banyak orang terjebak dalam “echo chamber” informasi palsu yang terus berulang dan membentuk persepsi yang menyimpang dari realitas ilmiah.
Dengan kombinasi faktor emosional, bias kognitif, dan struktur distribusi informasi yang permisif, hoaks tumbuh subur dan sering kali lebih menarik daripada fakta ilmiah yang kompleks dan membutuhkan pemahaman kritis.
Cara Menanggulangi: Bangun Literasi, Bukan Cuma Rebutan Klarifikasi
Menanggulangi hoaks kesehatan tidak cukup hanya dengan memberikan klarifikasi atau membantah satu per satu informasi palsu yang beredar. Pendekatan seperti itu bersifat reaktif dan tidak menyentuh akar persoalan: kurangnya literasi masyarakat terhadap informasi, khususnya di bidang kesehatan dan sains epidemiologi.
Yang dibutuhkan adalah pembangunan literasi jangka panjang, yaitu kemampuan masyarakat untuk mengenali, memahami, menilai, dan menggunakan informasi secara kritis. Literasi ini mencakup dua hal utama: literasi digital, agar masyarakat mampu menyaring informasi di media sosial dan internet; serta literasi ilmiah, agar publik memahami dasar-dasar cara kerja sains, termasuk bahwa ilmu pengetahuan bersifat terbuka, berkembang, dan berbasis bukti.
Pembangunan literasi ini perlu dimulai dari tingkat paling dasar: pendidikan. Kurikulum sekolah bisa memuat pelajaran berpikir kritis dan membaca informasi digital. Di luar sekolah, peran tokoh masyarakat, tenaga kesehatan, jurnalis, dan content creator menjadi penting sebagai komunikator ilmu yang dapat menjembatani bahasa teknis menjadi narasi yang mudah dipahami dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Selain itu, pemerintah dan lembaga kesehatan juga perlu bertransformasi menjadi penyampai informasi yang aktif dan transparan, bukan hanya muncul saat krisis. Informasi yang akurat, konsisten, dan mudah diakses harus disampaikan secara berkelanjutan melalui berbagai kanal yang dipercaya masyarakat.
Dengan membangun literasi, masyarakat tidak lagi menjadi objek pasif yang mudah terseret arus hoaks, melainkan menjadi subjek yang mampu menyaring, mengevaluasi, dan memilih informasi yang benar. Ini bukan hanya solusi untuk hari ini, tetapi investasi jangka panjang dalam menciptakan ketahanan sosial terhadap disinformasi dan memperkuat fondasi kepercayaan terhadap sains.
“A lie can travel halfway around the world while the truth is putting on its shoes.” Mark Twain