Perjalanan ini bukan sekadar wisata. Ia adalah kisah tentang kebersamaan, refleksi diri, dan kekaguman atas ciptaan Tuhan yang agung. Bersama rekan-rekan sekantor yang kompak dan penuh semangat, pada suatu hari di bulan November 2015 kami memulai langkah dari Rengat, kota bersejarah di selatan Riau yang terkenal dengan bolu berendamnya, menuju destinasi yang sejak lama menyimpan rasa penasaran, Danau Toba.
Rengat – Pekanbaru – Medan
Dari Rengat, kami menempuh perjalanan darat menuju Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau. Sebuah kota yang semakin hari terasa semakin dinamis namun tetap ramah. Dari sini, kami melanjutkan perjalanan udara menuju Kota Medan. Alhamdulillah, penerbangan kami berlangsung mulus dan lancar, dengan waktu tempuh sekitar 1 jam 20 menit. Setibanya di Medan, kami menginap semalam untuk beristirahat dan mempersiapkan diri menghadapi perjalanan panjang ke Danau Toba.
Menuju Danau Toba: Perjalanan Penuh Cerita
Subuh esoknya, setelah sholat dan bersiap, sekitar pukul 7 pagi kami dijemput oleh travel agent. Namun, sebelum benar-benar memulai wisata, kami menyempatkan diri bertakziah ke rumah salah seorang teman satu kantor yang sedang berduka karena kehilangan orang tua tercinta. Kehadiran kami adalah wujud empati dan solidaritas, bagian dari nilai luhur yang kami bawa dalam perjalanan ini.
Usai bertakziah, barulah kami menempuh rute panjang menuju Danau Toba. Perjalanan darat dari Medan membawa kami melintasi berbagai kota dan daerah seperti Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, dan Pematangsiantar. Sepanjang jalan, hamparan kebun sawit yang mengalir sejauh mata memandang menjadi pemandangan dominan, sebelum perlahan-lahan berganti menjadi kawasan perbukitan yang semakin menanjak dan terjal saat mendekati Parapat, gerbang utama menuju Danau Toba.
Menyusuri Keajaiban Pulau Samosir
Sesampainya di Parapat, kami langsung menyeberang menggunakan kapal penyeberangan tradisional (disebut juga “kapal motor”) menuju Pulau Samosir. Di sinilah keajaiban alam dan sejarah menyatu. Destinasi pertama kami adalah situs Batu Kursi Huta Siallagan di Desa Ambarita. Situs ini adalah bekas pusat pengadilan adat dari marga Siallagan. Batu-batu kursi yang tertata rapi mengisahkan sejarah hukum dan peradilan di masa lalu. Konon, di sinilah para pelanggar hukum diadili secara terbuka, dan bila terbukti bersalah, hukuman dijalankan di tempat.

Salah satu simbol menarik di Huta Siallagan adalah ukiran cicak. Dalam budaya Batak, cicak melambangkan adaptasi dan ketahanan hidup, filosofi bahwa orang Batak bisa hidup di mana saja, seperti cicak yang bisa hidup di mana pun ia berada.
Beberapa teman mencoba Tari Tor-Tor, tarian khas Batak yang sakral namun menghibur. Di tempat ini juga terdapat patung tor-tor mekanik yang bisa menari, bergerak seperti robot sederhana, menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Setelah puas menikmati sejarah dan budaya, kami melanjutkan perjalanan ke pasar wisata di Tomok. Pasar ini menawarkan beragam suvenir khas Batak seperti ulos, ukiran kayu, dan makanan tradisional. Sambil berkeliling, kami menikmati keramahan penduduk lokal yang penuh senyum.
Menyambut Senja dari Kapal Penyeberangan
Saat matahari mulai condong ke barat, kami menyeberang kembali dari Pulau Samosir menuju Parapat. Perjalanan pulang di atas kapal penyeberangan ini memberikan pengalaman yang benar-benar berbeda dari saat datang. Langit perlahan berubah warna, dari biru cerah menjadi jingga keemasan, lalu perlahan bergradasi ke ungu dan merah muda. Langit senja di atas Danau Toba sungguh luar biasa indah, seperti lukisan alam yang tak bisa ditiru oleh palet mana pun.

Dari atas kapal, kami duduk diam sejenak, menikmati angin dan riak-riak halus air danau yang tenang. Beberapa dari kami bersandar di tepi kapal, larut dalam keheningan senja yang syahdu. Matahari tampak perlahan “tenggelam” di balik bukit-bukit yang membingkai danau, meninggalkan jejak cahaya keemasan di permukaan air. Bayangan perahu-perahu kecil dan siluet pulau di kejauhan menambah kesan dramatis dan damai. Tak ada kata yang mampu mewakili perasaan saat itu selain rasa syukur yang dalam. Kami sadar, bukan setiap hari kita bisa menyaksikan keajaiban seperti ini, senja di tengah danau raksasa yang lahir dari letusan gunung purba, mengalirkan aura keheningan sekaligus kebesaran Sang Pencipta.
Sesampainya di dermaga Parapat, hari telah benar-benar gelap. Tapi hati kami masih penuh cahaya dari pengalaman senja yang barusan kami saksikan bersama. Perjalanan kami lanjutkan menuju tempat kami menginap di Danau Toba International Cottage (DTIC). Udara malam yang sejuk menyambut kami, dan secangkir kopi hangat menjadi penutup manis hari yang luar biasa ini.
Pagi yang Syahdu di Tepi Danau
Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, saya terbangun lebih awal dari biasanya. Setelah menunaikan sholat Subuh di dalam keheningan kamar hotel, kaki ini terasa ringan untuk melangkah keluar, menuju tepian Danau Toba yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempat kami menginap. Udara pagi begitu sejuk, segar, dan hening. Kabut tipis menggantung rendah di atas permukaan danau, menciptakan kesan magis yang sulit dijelaskan. Suara alam terdengar begitu jelas, gemericik air yang lembut menyentuh batu-batu di pinggir, sesekali terdengar kicau burung yang seolah menyambut pagi bersama saya. Tidak ada kendaraan, tidak ada deru kota. Hanya saya, danau, dan rasa syukur.
Saya menyusuri jalan setapak yang membentang di sisi danau. Di beberapa titik, saya berhenti hanya untuk menarik napas dalam-dalam dan mengabadikan momen dengan pandangan, bukan hanya lensa. Pantulan pegunungan dan langit perlahan berubah warna, dari abu-abu keemasan, lalu mulai menyala dengan semburat merah muda saat mentari mulai menampakkan dirinya di ufuk timur. Ketika akhirnya matahari muncul perlahan di balik perbukitan, seluruh permukaan danau berubah menjadi cermin raksasa yang memantulkan cahaya keemasan. Saya berdiri diam, terpesona, dengan hati yang penuh ketenangan dan jiwa yang terasa utuh. Momen itu seperti pelukan hangat dari semesta, sunyi yang menyejukkan, seolah semua beban rontok tertinggal di ujung malam.
Simarjarunjung dan Sipiso-piso yang Megah
Perjalanan berlanjut menuju Simarjarunjung, sebuah kawasan perbukitan tinggi yang terletak di sisi utara Danau Toba. Begitu tiba, udara dingin langsung menyapa kulit kami, meski matahari bersinar terang. Wilayah ini terkenal sebagai salah satu titik panorama terbaik Danau Toba, dan yang membuatnya semakin menawan adalah hamparan hutan pinus yang mendominasi lereng-lereng bukit. Pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi menciptakan suasana teduh, tenang, dan sejuk. Udara di Simarjarunjung memiliki aroma khas hutan yang segar dan bersih, sebuah pelarian sempurna dari hiruk-pikuk kota. Di sela-sela barisan pohon pinus, kami sesekali berhenti untuk mengambil foto dan hanya menikmati suara angin yang berbisik melalui dedaunan. Dari tempat ini, Danau Toba terlihat seperti lukisan alam raksasa: biru, dalam, dan dikelilingi hijaunya pegunungan. Beberapa warung kecil juga tersedia di sekitar kawasan ini, menawarkan teh jahe hangat, gorengan, hingga makanan khas Batak yang menghangatkan tubuh. Beberapa teman mencoba durian lokal yang dijajakan pedagang sekitar lokasi. Saya sendiri memilih tidak ikut, karena tidak terbiasa makan durian saat bepergian. Tapi aroma khas dan gurihnya tawa teman-teman membuat suasana menjadi lebih hangat dan santai.

Tak jauh dari situ, kami mengunjungi Air Terjun Sipiso-piso. Air terjun ini merupakan salah satu yang tertinggi di Indonesia, dengan ketinggian sekitar 120 meter. Airnya memancar kuat dari celah tebing, menciptakan suara gemuruh yang menyatu dengan alam. Nama “Sipiso-piso” berasal dari kata piso, yang berarti pisau dalam bahasa Batak, merujuk pada bentuk air terjun yang tipis dan tajam seperti bilah pisau saat mengalir dari ketinggian tebing curam ke dasar lembah. Air terjun ini sebenarnya adalah aliran sungai bawah tanah dari Plato Karo yang muncul dari celah batu dan jatuh ke dasar lembah di tepi Danau Toba. Dari gardu pandang di atas, kami menyaksikan air putih yang menjuntai lurus seperti benang cahaya di antara dinding tebing hijau, pemandangan yang luar biasa megah dan menggugah rasa takjub.

Brastagi dan Lanskap Abu Gunung Sinabung
Perjalanan kami pun berlanjut menuju Brastagi, sebuah kota sejuk yang terletak di dataran tinggi Karo, Sumatera Utara. Brastagi dikenal luas sebagai destinasi wisata pegunungan yang menawarkan hasil pertanian segar, udara dingin yang menyegarkan, dan pemandangan alam yang memesona. Namun, kali ini Brastagi menyambut kami dengan wajah yang berbeda. Gunung Sinabung, gunung api aktif yang tak jauh dari kota ini, baru saja meletus beberapa hari sebelumnya. Lanskap Brastagi yang biasanya hijau dan cerah, kini diselimuti lapisan abu vulkanik yang halus namun pekat.
Kami melihat atap-atap rumah, kendaraan, jalanan, hingga dedaunan pohon ditutupi abu berwarna kelabu pucat. Udara terasa lebih berat, dan sinar matahari tampak sedikit tertahan oleh partikel debu di langit. Meski begitu, ada sesuatu yang hening dan khidmat dari pemandangan ini, alam menunjukkan kekuatannya dengan cara yang lembut namun tegas. Gunung Sinabung tampak menjulang megah di kejauhan, sebagian masih mengeluarkan asap tipis dari kawahnya, seperti pertanda bahwa aktivitasnya belum benar-benar usai. Pemandangan ini mengingatkan kami akan betapa kecilnya manusia di hadapan kekuatan alam, dan betapa pentingnya menjaga harmoni dengannya.
Meski dikelilingi sisa letusan, Brastagi tetap hidup. Pasar-pasar tetap buka, masyarakat tetap ramah, dan kami tetap menikmati makan siang di salah satu restoran yang menyajikan makanan khas Batak dan menu nusantara. Beberapa dari kami mencicipi buah segar dari dataran tinggi ini, seperti markisa, jeruk medan, dan bahkan durian lokal yang meski tertutup abu, tetap menggoda selera.
Perjalanan Kembali ke Medan: Di Antara Perbukitan dan Perkebunan Sawit
Usai menikmati makan siang yang hangat di Brastagi, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Kota Medan. Jalur yang kami tempuh membawa kami menuruni lekuk-lekuk pegunungan Bukit Barisan yang masih berselimut abu vulkanik dari letusan Gunung Sinabung. Lambat laun, pemandangan mulai berganti. Kabut pegunungan memudar, digantikan oleh hamparan perkebunan sawit yang membentang sejauh mata memandang. Pohon-pohon sawit berdiri berjajar rapi, menciptakan lanskap khas dataran rendah Sumatera. Jalanan mulai melandai dan lebih ramai, menandakan bahwa kami semakin dekat dengan wilayah perkotaan.
Sepanjang perjalanan, sebagian besar dari kami diam, mungkin lelah, atau mungkin masih terhanyut dalam pengalaman panjang hari itu, dari udara pegunungan yang dingin hingga pemandangan alam yang menggugah. Mobil travel melaju dengan kecepatan sedang, sesekali berhenti untuk membeli minuman atau sekadar melepas penat. Saat sore menjelang, langit Medan mulai tampak di kejauhan, samar-samar tertutup lapisan tipis polusi dan asap kendaraan. Kami pun tiba di kota yang kembali sibuk, ramai, dan penuh warna. Kontras yang jelas dari tenangnya Danau Toba dan segarnya udara Brastagi.
Singgah ke Istana Maimun: Jejak Sejarah di Tengah Kota
Sebelum benar-benar menyelesaikan perjalanan menuju hotel di Medan, kami menyempatkan diri untuk singgah ke salah satu ikon sejarah dan kebudayaan Kota Medan yakni Istana Maimun. Bangunan megah yang berdiri anggun di tengah hiruk-pikuk kota ini merupakan peninggalan Kesultanan Deli, dan hingga kini masih menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu Melayu Deli yang kaya akan seni, budaya, dan arsitektur.

Begitu memasuki pelataran istana, kami langsung disambut oleh warna kuning keemasan khas Melayu yang mendominasi dinding dan ornamen bangunan. Arsitektur Istana Maimun merupakan perpaduan unik antara gaya Melayu, Islam, India, dan Eropa yang tampak dari bentuk jendela, ukiran kayu, hingga furnitur di dalam ruang utama. Kami pun berkeliling ke dalam istana, menyusuri ruang singgasana yang masih tertata rapi dengan kursi kerajaan, payung kebesaran, dan lambang-lambang kesultanan. Di sana, pengunjung juga diperbolehkan mengenakan pakaian adat Melayu dan berfoto dengan latar singgasana, menambah keseruan dan kenangan kami di tempat bersejarah ini.
Meski hanya singgah sejenak, kunjungan ke Istana Maimun seolah menjadi penutup budaya dari rangkaian perjalanan panjang kami. Dari keelokan alam Danau Toba hingga kemegahan budaya di jantung Kota Medan, semuanya menyatu menjadi pengalaman yang utuh dan tak terlupakan. Setelah puas menikmati keindahan istana dan berfoto bersama, kami pun melanjutkan perjalanan ke hotel. Begitu tiba di hotel, kami langsung check-in dan membersihkan diri dari debu perjalanan. Beberapa dari kami keluar sebentar untuk mengunjungi pusat perbelanjaan terdekat, hanya sekadar berjalan santai dan cuci mata, sebelum akhirnya kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat dan mengisi energi untuk perjalanan esok harinya.
Kembali ke Tanah Rengat: Perjalanan Pulang yang Penuh Rasa
Pagi hari berikutnya di Medan kami awali dengan suasana yang tenang. Setelah sarapan dan check-out dari hotel, kami melanjutkan perjalanan menuju Bandara Internasional Kualanamu, untuk pulang kembali ke Provinsi Riau. Suasana di bandara cukup ramai pagi itu, tapi semuanya berjalan lancar. Kami menaiki pesawat dengan perasaan campur aduk, antara bahagia karena telah banyak pengalaman yang kami dapat, dan haru karena perjalanan indah ini akan segera berakhir. Penerbangan dari Medan menuju Pekanbaru berlangsung dengan mulus. Dari balik jendela pesawat, kami menyaksikan hamparan hijau Sumatera Utara yang perlahan menjauh, berganti dengan awan-awan putih yang menemani kami sepanjang perjalanan. Alhamdulillah, kami tiba di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru sekitar tengah hari.
Tanpa berlama-lama, kami melanjutkan perjalanan darat menuju Rengat, kota yang telah menanti kami kembali dengan segala kehangatannya. Rute dari Pekanbaru ke Rengat sudah sangat familiar bagi kami, melewati jalan lintas timur Sumatera yang panjang dan cukup melelahkan, namun tetap menghadirkan pemandangan khas: deretan kebun kelapa sawit, hutan alam yang sesekali muncul, serta kehidupan masyarakat pedesaan yang kami lewati. Perjalanan ini memakan waktu beberapa jam, namun kami mengisinya dengan bercanda, mendengarkan musik, dan sesekali merefleksikan pengalaman selama beberapa hari terakhir, mulai dari sejuknya udara Danau Toba, kemegahan Sipiso-piso, hingga senja yang damai di atas kapal penyeberangan. Semua terekam indah dalam memori kami.
Menjelang malam, kami akhirnya tiba kembali di Rengat, kota kecil penuh sejarah yang kami cintai, tempat kami memulai dan kini menutup perjalanan ini. Meski lelah, hati kami terasa ringan. Ada rasa syukur yang dalam karena perjalanan ini bukan sekadar wisata, tapi juga sebuah pengalaman batin yang mempererat kebersamaan, memperkaya wawasan, dan memperdalam rasa cinta pada negeri sendiri.
Perjalanan yang Lebih dari Sekadar Wisata
Perjalanan ke Danau Toba ini bukan hanya tentang destinasi, melainkan tentang proses. Tentang bagaimana sebuah perjalanan bisa mempererat persahabatan, membangun empati, membuka mata akan kebesaran alam, dan menghadirkan rasa syukur yang mendalam. Kita semua butuh jeda. Bukan untuk melarikan diri dari tanggung jawab, tetapi untuk kembali dengan jiwa yang lebih kuat, pikiran yang lebih segar, dan semangat yang lebih besar. Danau Toba, dengan segala keindahan dan kearifan lokalnya, telah memberi kami ruang untuk itu.
Sampai jumpa di perjalanan berikutnya. Karena setiap langkah adalah cerita. Dan setiap cerita layak dikenang.