Makassar, 8-12 Oktober 2023 — Salah satu pengalaman paling berkesan dalam perjalanan akademik saya adalah ketika mengikuti kegiatan 10th National Scientific Conference on Epidemiology (NSCE), sebuah forum ilmiah bergengsi tahunan bagi mahasiswa dan alumni Field Epidemiology Training Program (FETP) di Indonesia. Tahun ini, NSCE diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin sebagai tuan rumah, bertempat di Hotel Four Points by Sheraton, Makassar. Acara ini menjadi wadah pemaparan kegiatan lapangan, seperti analisis situasi, penyelidikan epidemiologi, hingga riset operasional yang disampaikan melalui presentasi oral maupun media poster oleh mahasiswa dan alumni FETP.
Untuk menjadi peserta, saya melalui proses seleksi ketat dengan mengirimkan abstrak hasil kegiatan lapangan berupa penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) Hepatitis A di sebuah pondok pesantren di Provinsi Riau. Abstrak saya dinyatakan lolos dan saya diundang sebagai presenter oral dalam forum ilmiah tersebut. Sebuah tanggung jawab besar yang membuat saya harus mempersiapkan diri sebaik mungkin, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga demi membawa nama baik Universitas Indonesia (UI). Tahun ini, UI mengirimkan 12 peserta yang terdiri dari 4 mahasiswa dan 8 alumni. Saya mengikuti NSCE ini ketika masih berstatus sebagai mahasiswa magister epidemiologi di UI.
Pada hari keberangkatan, usai sholat subuh saya berkemas dan bersiap diri. Sekitar pukul 9 pagi saya berangkat dari tempat kost di kawasan Pondok Cina, Depok. Saya tiba di Bandara Soekarno-Hatta sekitar jam 10 dan mengalami delay penerbangan sekitar 30 menit. Perjalanan udara cukup mulus hingga akhirnya mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar pukul 4 sore. Ini adalah pertama kalinya saya menginjakkan kaki di kota Makassar. Saya sempat terkejut karena hari sudah mulai gelap, baru saya ingat bahwa Makassar berada di zona waktu yang berbeda dengan Jakarta. Saya langsung menuju hotel dan mendapati antrean panjang peserta yang tengah registrasi. Setelah mendapatkan kunci kamar, saya langsung beristirahat, menyiapkan diri untuk hari esok.
Keesokan harinya adalah sesi pre-conference. Kegiatan ini dibagi dalam beberapa kelas dan saya mendapatkan materi tentang evaluasi sistem surveilans, yang dibawakan oleh narasumber dari WHO Indonesia. Materi ini menjadi pengayaan atas ilmu yang pernah saya dapat di bangku kuliah dan juga pengalaman saya saat melakukan proyek evaluasi sistem surveilans di semester awal kuliah. Meski saya sudah familiar dengan topik ini, diskusi dalam forum ini memperkaya perspektif saya.
Hari konferensi tiba. Saya mendapatkan giliran sebagai presenter pertama di sesi Pleno 1. Harapan saya semula bisa menyimak presentasi peserta lain lebih dulu agar bisa belajar dari mereka, ternyata tidak terkabul. Saya langsung menjadi pembuka sesi. Meskipun gugup, saya mencoba untuk tampil sebaik mungkin. Alhamdulillah, presentasi berjalan dengan lancar. Selesai presentasi, saya merasa lega. Namun saya tidak berhenti di situ, saya bertanya langsung kepada dewan juri dan peserta tentang masukan terhadap presentasi saya. Beberapa hal yang saya catat untuk perbaikan ke depan antara lain pengaturan waktu presentasi, pengucapan bahasa Inggris, tatapan mata terhadap audiens, dan kemampuan menjawab pertanyaan secara lugas. Semua masukan itu saya terima sebagai bekal berharga.
Selama acara berlangsung, banyak materi yang sangat menarik dari para pakar epidemiologi, baik dari dalam maupun luar negeri. Di antaranya pembahasan tentang penguatan surveilans pasca pandemi, strategi pemenuhan tenaga epidemiologi, hingga kerja sama internasional dalam penguatan sistem deteksi dini. Saya mengikuti hampir semua sesi dengan penuh antusias karena materi-materi tersebut sangat relevan dengan pekerjaan yang akan saya jalani setelah lulus. Selain itu, saya juga menyempatkan diri untuk mengamati berbagai poster yang dipamerkan. Proyek-proyek yang dipresentasikan sangat inspiratif dan menunjukkan bagaimana epidemiologi lapangan berkontribusi nyata dalam penanganan masalah kesehatan di Indonesia.
Pada malam puncak, ada lomba kreativitas antar universitas yang berlangsung meriah. Alhamdulillah UI berhasil meraih juara ketiga. Namun momen paling menegangkan terjadi di hari terakhir, saat diumumkan penghargaan bagi presenter dan poster terbaik. Sejujurnya saya tidak memiliki ekspektasi besar karena saya sadar diri masih banyak kekurangan. Tujuan utama saya hadir hanyalah ingin mendapat pengalaman berharga, tampil optimal, dan tidak mempermalukan nama universitas. Namun ternyata Allah SWT berkehendak lain. Saat nama pemenang kategori Best Oral Presentation dibacakan, saya mendengar nama saya dipanggil dan terpampang jelas di layar, Said Mardani Best Oral Presentation 1st Place. Hati saya bergetar. Rasa haru, syukur, dan tidak percaya bercampur menjadi satu. Saya naik ke panggung untuk menerima sertifikat penghargaan yang diberikan langsung oleh Dirjen P2 Kemenkes RI. Ini adalah pencapaian terbesar saya sejauh ini dalam dunia akademik.
Penghargaan ini saya persembahkan untuk keluarga saya: istri, anak-anak, dan orang tua saya yang selalu mendukung perjalanan studi saya tanpa pamrih. Saya juga sangat berterima kasih kepada pembimbing saya, Ibu Helda dan Pak Miko, serta pembimbing lapangan Pak Rigo yang telah memberikan arahan dan masukan selama proses kegiatan lapangan berlangsung. Saya juga berterima kasih kepada teman-teman seperjuangan yang selalu saling menyemangati.
Setelah kegiatan resmi berakhir, saya menyempatkan diri berkeliling kota Makassar. Saya mengajak seorang teman, dan kami ditemani dua mahasiswa Unhas yang sebelumnya menjadi MC acara. Kami menikmati kuliner pisang ijo yang terkenal, membeli oleh-oleh khas Makassar seperti sirup markisa, lalu menikmati senja di Pantai Losari dengan latar Masjid 99 Kubah yang megah. Kami salat maghrib di sekitar pantai lalu menuju tempat makan coto Makassar. Usai makan malam, saya kembali ke hotel untuk mengambil barang, lalu meluncur ke bandara. Tiba di bandara sekitar pukul 21.00 WITA, saya langsung melakukan check-in dan bersiap pulang. Di Jakarta, saya memutuskan menginap di bandara untuk melanjutkan perjalanan ke Pekanbaru keesokan subuh.
Perjalanan ke Makassar bukan hanya perjalanan akademik, melainkan perjalanan yang juga menyentuh sisi spiritual dan emosional saya. Di usia saya yang ke-43, saya kembali disadarkan bahwa belajar dan berprestasi tidak pernah mengenal usia. Bahwa ketekunan, ketulusan, dan doa yang tidak pernah henti akan membuahkan hasil di waktu yang tepat. Saya pulang dengan rasa syukur, semangat baru, dan harapan besar agar ilmu yang saya dapatkan bisa bermanfaat untuk masyarakat luas ketika saya kembali bertugas. Semoga ini bukan akhir, melainkan awal dari kontribusi yang lebih besar di masa depan.
Alhamdulillah. Terima kasih NSCE. Terima kasih Makassar. Terima kasih Ya Allah.