Pagi ini beranda media sosial saya sebagian besar dipenuhi berita tentang meningkatnya kasus COVID-19 di daerah saya. Pikir saya wajar saja berita ini menjadi heboh karena semenjak pandemi COVID-19 melanda hingga seminggu sebelumnya, kasus COVID-19 di daerah saya relatif sedikit dan selalu berada dalam zona hijau sampai kuning. Namun dengan bertambahnya kasus COVID-19 terkonfirmasi positif dalam beberapa hari terakhir, menjadikan daerah saya saat ini masuk kategori zona Jingga (orange). Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan, meresahkan dan menjadi bahan perbincangan menarik. Tidak hanya dalam perbincangan harian namun juga menjadi trending topik di berbagai media sosial & media online lokal.
Penasaran atas pemberitaan tersebut, saya langsung berselancar di dunia maya. Beberapa situs resmi pemerintah yang mengupdate informasi terkini COVID-19 di tingkat global, nasional dan lokal saya kunjungi dan saya eksplorasi. Paparan data yang ditampilkan dari situs-situs tersebut membuat saya terperangah karena dalam waktu yang relatif singkat terlihat tren peningkatan kasus yang sangat signifikan, terutama di daerah saya. Kurva perkembangan kasus dalam grafik menunjukkan garis meningkat yang sangat tajam dalam beberapa hari ini. Namun yang lebih mencengangkan sekaligus mengkhawatirkan yaitu tingginya angka kematian akibat penyakit ini di daerah saya yang mencapai 18,5%. Angka ini jauh diatas angka kematian rata-rata di Indonesia (3,90%) maupun dunia (3,09%).
Memang para pakar dan ahli kesehatan telah menjelaskan bahwa banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko kematian akibat COVID-19. Mulai dari faktor usia sampai pada penyakit komorbid dan faktor lainnya yang sangat banyak variabelnya. Saking banyaknya faktor tersebut sehingga sangat sulit untuk mencari faktor utama yang dominan menjadi penyebab kematian COVID-19. Namun penjelasan-penjelasan tersebut seolah belum mampu menghilangkan rasa penasaran saya. Berbagai pertanyaan bergentayangan di benak saya. Benarkah tingginya angka kematian ini sudah menggambarkan kondisi riilnya? Mengapa angkanya sangat tinggi dibandingkan angka kematian di Indonesia dan dunia? Ataukah mungkin ini merupakan pertanda fenomena gunung es yang sering terjadi pada setiap kasus penyakit menular di masyarakat?
Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya memunculkan praduga-praduga di pikiran saya. Memancing saya untuk melakukan sedikit analisa dangkal tanpa berdasarkan teori ilmiah. Hanya berbekal data yang ada dan sedikit pengalaman pernah berkecimpung di bidang surveilans epidemiologi meskipun hanya seumur jagung. Akhirnya praduga saya mengerucut pada pertanyaan mungkinkah ini merupakan pertanda fenomena gunung es COVID-19 di daerah saya?
Dalam keraguan yang seolah tiada berakhir tersebut, lantas terbersit pertanyaan lanjutan dipikiran saya. Bukankah angka kematian suatu penyakit dihitung dari jumlah kematian per jumlah kasus positif (konfirmasi)? Bukankah jumlah kasus positif yang ditemukan saat ini menggunakan metode surveilans pasif dan surveilans aktif? Surveilans pasif disini maksudnya adalah penemuan kasus positif di fasilitas pelayanan kesehatan atas kunjungan pasien yang mengalami keluhan sakit dan berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Lalu dari kasus positif yang ditemukan di fasyankes tersebut dilakukan surveilans aktif dengan melakukan tracking dan tracing terhadap setiap dugaan kontak hingga diperoleh kasus positif lainnya.
Lantas bagaimana dengan orang tanpa gejala (OTG) yang ditubuhnya terdapat virus COVID-19 dan mungkin sudah menularkan ke orang lain tanpa disadari? Bagaimana bisa mendeteksi dan melaporkan OTG sementara ia tidak sakit dan tidak mengunjungi fasyankes? Bagaimana bisa memutus rantai penularan jika tidak diketahui siapa orangnya sementara ia dapat bebas berkeliaran kemana saja?
Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut saya menduga mungkin saja tingginya persentase angka kematian COVID-19 didaerah saya ini dikarenakan masih terdapat kasus positif lain yang belum terlacak atau terlaporkan khususnya kasus OTG, karena hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa angka OTG ini sangat tinggi mencapai 80-85%. Memang ini hanyalah sebatas dugaan dan perlu analisa mendalam untuk membuktikannya. Namun jika ada kasus positif COVID-19 yang tidak memiliki riwayat kontak sebelumnya dengan kasus konfirmasi atau tidak pernah mengunjungi daerah dengan transmisi lokal, ini merupakan sinyal kuat terdapat OTG yang telah menularkan COVID-19 di populasi tanpa terdeteksi.
Kasus OTG ini menurut saya memang sulit mendeteksinya. Bukan karena tim kesehatan/gugus tugas belum maksimal bekerja melainkan metode dan peralatan yang ada saat ini belum memadai untuk mendeteksi OTG secara massal. Kecuali suatu hari nanti berhasil diciptakan alat pemindai yang akurasinya seakurat pemeriksaan swab PCR, bersifat portabel dan mampu ditempatkan di area publik atau di tempat dengan lalu lintas orang yang ramai. Berbicara tentang kinerja tim kesehatan/gugus tugas, saya yakin dan percaya mereka sudah mengerahkan segala daya dan upaya tanpa mengenal lelah dan waktu. Bahkan mereka rela berkorban nyawa. Pada kalender kerja mereka tidak ada tanggal merahnya, semuanya hitam, terlebih lagi dengan situasi meledaknya kasus saat ini. Saya sangat salut dan angkat dua jempol untuk tim yang sudah bekerja, baik di fasyankes maupun di lapangan. Saya mendoakan semoga tim kesehatan/gugus tugas selalu sehat dan mendapat lindunganNya dalam menjalankan tugas mulia dan perjuangan ini.
Kembali ke kasus OTG, kasus OTG ini bisa dialami siapa saja termasuk saya, Anda, keluarga dan kerabat, tetangga, teman sekantor, atau siapapun. Saat ini belum ada jaminan seseorang kebal dan terbebas dari ancaman penularan COVID-19. Bahkan telah ada hasil penelitian terkini yang melaporkan terjadinya kasus infeksi berulang COVID-19 pada manusia. Kita bisa saja terinfeksi virus COVID-19 tanpa kita sadari karena tidak menunjukkan gejala sakit, tidak terdeteksi, namun dapat menularkan kepada orang lain. Ini merupakan bahaya nyata namun terselubung yang dapat membuat kasus COVID-19 semakin meledak. Karena itu kita mestinya memiliki mindset bahwa kita bukan hanya dapat tertular COVID-19 dari orang lain, namun kita juga bisa menjadi penular COVID-19 kepada orang lain tanpa kita sadari.
Setiap orang bisa saja menjadi OTG sebagai mata rantai penularan COVID-19 di populasi. Karena itu setiap orang memiliki kewajiban yang sama untuk memutus rantai penularan itu dengan melakukan upaya-upaya pencegahan yang dimulai dari diri sendiri. Saat ini, tindakan pencegahan yang paling efektif adalah dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat oleh masing-masing individu. Setiap orang harus melakukan tindakan konkrit dan konsisten dengan menerapkan 3M yaitu 1) Menggunakan masker secara benar, 2) Mencuci tangan secara benar sesering mungkin, dan 3) Menjaga jarak fisik minimal 1 meter dan menghindari kerumunan. Jika setiap orang telah menerapkan cara ini secara bersama-sama, insya Allah rantai penularan COVID-19 dapat diputus dan COVID-19 dapat dieliminasi dari muka bumi ini.
Pemahaman seperti inilah yang mendasari saya menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan selalu menggunakan masker ketika berinteraksi dengan orang lain. Memang terkadang saya merasakan beberapa teman dan kerabat agak canggung ketika berinteraksi dengan saya karena kebiasaan ini. Untuk mengatasinya, biasanya saya coba jelaskan kepada mereka bahwa upaya pencegahan terbaik adalah dengan menerapkan protokol kesehatan secara bersama-sama. Tidak dipungkiri kalau saya memang berusaha mencegah tertular COVID-19 dari orang lain. Namun ada hal yang lebih menakutkan menurut saya yaitu kalau saya adalah OTG dan tanpa disadari saya telah menularkan penyakit ini kepada orang lain. Hal itu mungkin saja terjadi dan jika itu terjadi berarti saya telah berbuat dzolim karena telah membawa kemudaratan bagi orang lain. Karena itulah saya selalu menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Bukan hanya karena saya takut tertular, namun juga saya tidak ingin menjadi sumber penularan penyakit ini ke orang lain.
Pandemi ini sedang berlangsung dan virus COVID-19 telah ada diantara kita. Meski tak kasatmata, namun bukti keberadaanya telah membuat rumah sakit penuh merawat orang yang ditularinya dan tempat pemakaman hampir tak memiliki banyak ruang tersisa. Jangan anggap ini tiada karena ancamannya sudah diambang mata. Tiada upaya paling bermakna selain pencegahan bersama dan kesadaran kita.
Di suatu tempat di masa Pandemi COVID-19
18 September 2020
Berharap & menantikan masa-masa indah yang kembali ceria bersama keluarga seraya berdoa semoga Allah SWT segera mengakhiri pandemi ini.